Sabtu, 01 Februari 2014

Seragam

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.

Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.

Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!

Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya. 

8 Desember 2012

cerpenkompas.wordpress.com 
Sumber

Jumat, 31 Januari 2014

Luxor


KALAU tidak sedang patah hati dan merencanakan bunuh diri, jangan sekali-sekali mengunjungi Bioskop Luxor di malam hari. Sebaiknya memilih jalan lain yang tidak harus melewati Bioskop Luxor. Walaupun jalan tersebut harus mengambil rute memutar yang lebih jauh. Bila sangat terpaksa melewati gedung itu, perbanyak menderas doa dan terus saja membuang muka.

Banyak kejadian ganjil terjadi di kota ini usai melewati Bioskop Luxor. Kejadian tak mengenakkan yang paling sering dituturkan adalah kisah seorang penari dalam perjalanan pulang pentas diantar becak langganan dari Keraton Ngayogyakarta menuju rumahnya di Kusumanegara. Tukang becak yang mengetahui keangkeran Bioskop Luxor sudah mengingatkannya untuk memutar melewati Jalan Mas Suharto meski harus dua kali lipat lamanya. Karena terlampau lelah, penari memaksa lewat Bioskop Luxor agar gegas sampai. Di atas becak penari menghapus riasan dan melucuti hiasan di konde. Di depan Bioskop Luxor, punggung penari dicolek-colek dari belakang. Merasa menjadi sasaran pelecehan, si penari membalik muka hendak memaki-maki tukang becak. Tukang becak itu raib. Becak dikayuh oleh benda gaib. Penari itu menjerit sekencang-kencangnya. Gelap malam menelan semua jerit ketakutan penari itu. Keesokannya, ditemukan dua pakaian tergeletak di jalan tanpa tuanpuan. Kisah itu tumbuh bersama ratusan kisah tak masuk akal di persendian kota.
 
Tak akan jadi soal kalau melewati Bioskop Luxor siang hari. Di sana pusat jajajan kaki lima dengan rasa enak luar biasa. Kerumunan merubung Es Campur PK, kurang dari dua ratus meter timur Bioskop Luxor. Di simpang tiga Purokinanti, juga ada jejeran nasi rames, lotek, kupat tahu yang disesak orang santap siang. Area itu primadona orang rehat saat panas menyengat ubun-ubun. Beberapa fotografer memotret sebagai objek gotik klasik. Tukang becak menanti ibu-ibu pekerja pulang menjelang sore. Pengemis, gelandangan biasa berteduh di emperan Bioskop Luxor.
 
Keadaan itu menjadi berbalik ketika sore semakin gelap. Gerobak digiring pulang kosong tanpa dagangan. Kedai bongkar-pasang dikemasi rapi-rapi. Bioskop Luxor berubah mengerikan. Terus-terusan dipayungi mendung. Samar tercium aroma tengik, seperti campuran bangkai dan apak mahoni. Lukisan tembok Bioskop Luxor menjadi bagian paling menyeramkan dan paling dihindari. Gambar berupa sosok manusia bertangan besi, memegang belati terhunus mulus, wajah tidak begitu jelas dan dari pergelangan tangan yang tidak sama panjang, meneteskan cairan-cairan warna hitam sangat busuk menetes pada rimbun mawar berduri di bawah bundar matahari.
 
”Sekarang jam berapa? Langit masih terang. Makan oseng-oseng mercon dan wedang secang enak kayaknya.” Lelaki berdasi motif segitiga berkata tidak membuka lebar mulut, menahan air liur. Dari perutnya dapat diketahui baru pada piring keempat atau kelima lelaki itu merasa kenyang.
”Kamu gila?” pemilik kedai kaki lima menimpali, sambil mengepaki.
”Memang sekarang jam berapa? Pantang menolak pelanggan. Hari masih terang.”
”Lihat sendiri jammu!”
”Apa jam ini benar? Ini masih terang?”
”Tetapi hantu Bioskop Luxor tidak pernah lupa kapan dia keluar dan menghabisi orang yang mendekatinya.”
 
***

Tidak ada hal buruk yang muncul tiba-tiba. Teror datang saat Bioskop Luxor tenar di tahun 1978. Bioskop Luxor tempat favorit berkencan. Film menjerat anak muda di kota ini untuk menghabiskan malam-malam di Bioskop Luxor. Orang-orang londo (begitu orang-orang menyebut pelancong dari luar negeri, meski tidak semua asli Belanda) bergabung menikmati film-film mutakhir masa itu.
 
Seorang pelukis, Aaron Noble, asli San Fransisco berlibur di kota ini. Selama tiga bulan di kota yang dipenuhi mahasiswa pesepeda dari penjuru kota menuju Keraton di alun-alun utara dan Sitihinggil. Noble menyewa losmen tak jauh dari Bioskop Luxor, tempat paling direkomendasikan untuk berkerumun dengan penduduk asli. Noble berniat melukis keadaan-keadaan kota ini, seperti yang ia lakukan di setiap kota yang dikunjungi. Terlebih masa itu kota ini benar-benar menawarkan pemandangan yang eksotis.
 
Stasiun Lempuyangan masih setengah jadi. Gedung-gedung bertingkat belum ada, hingga Merapi masih bisa dilihat dari sisi manapun. Juga Keraton masih sering membunyikan tetembangan selama 24 jam. Cukup duduk di alun-alun utara, orang dapat melihat dan mendengar seluruh isi kota lengkap dengan pemandangan memesona. Noble seperti menemukan model wanita idaman di semua pojok kota untuk dijadikan objek lukisan.
 
Malam itu Noble bermaksud melukis Bioskop Luxor yang ramai. Penonton mengular. Noble mengeluarkan perkakas melukis dan menempatkan pada posisi strategis. Kuasnya melukis deretan orang, dengan pakaian longgar atasan dimasukkan. Sepatu hak tinggi tebal. Lelaki memakai celana cutbrai dan kancing baju bagian atas dibiarkan terburai.
 
Noble menangkap seorang wanita mengemut rokok dengan gincu merona, duduk-duduk di kursi tunggu. Tampak tak hendak ikut mengantre tiket bioskop. Sesekali matanya berkedip sebelah. Senyum dipermanis. Rok tipis transparan. Sangat tidak cocok dengan onderoknya yang warna gelap. Bingo!
 
”Mengapa melukisku?”
”Kamu sangat cantik di tengah kerumunan itu,” Noble gugup.
Wanita itu menyemburkan asap rokok ke wajah Noble. Lalu tertawa menang. ”Kalau aku tidak cantik, orang tidak akan membayarku mahal. Aku makan dari kecantikanku.”
”Aku akan membayarmu karena telah menjadi objek lukisan.”
”Namaku Ros.”
”Secantik mawar. Aku Noble.”
”Duriku juga tajam, Tuan Noble.” Perkataan Ros yang sengaja dilembut-lembutkan dan dibumbui desahan halus memancing lelaki untuk berpikiran kotor.
 
Ros menemani Noble merampungkan lukisan. Lewat tengah malam, ketika pengunjung mulai sepi, film sudah berganti tiga kali, Noble memasukkan perkakas dalam kopor. Kanvas dijaga agar tidak lecek. Noble mengajak Ros menginap di losmen. Tak perlu menunggu lama, manusia muda itu saling bekerja. Noble ingin mencoba duri-duri Ros. Pun Ros berhasrat mencicipi londo.
Setiap malam Noble ditemani Ros melukis. Hingga menjelang kepulangan, di malam terakhir, Noble menyampaikan sesuatu yang besar.
 
”Aku ingin menikahimu, Ros.”
Ros tersedak, lalu batuk-batuk sebentar.
”Kamu sedang mabuk, Tuan Noble?”
”Tidak, aku serius. Kamu cantik dan begitu baik.”
”Aku baik? Hanya orang ‘baik’ yang menganggapku ‘baik’,” Ros membuat apostrof dengan jari telunjuk kedua tangan dengan maksud metafora.
”Aku mencintaimu.”
”Aku dilarang mencintai klien. Cinta membuatku tidak profesional.”
Noble hanya diam. Ia menjadi lelaki penakut. Tidak seberani lukisannya. Di tengah riuh Bioskop Luxor, Noble dan Ros menyelami hati masing-masing.
Ros berdiri.
”Aku pergi. Lupakan aku. Pulang saja ke negaramu. Kotaku akan lebih indah tanpa lelaki semacammu. Lelaki hidung belang.”
 
Noble tidak bisa menghalangi jalan cepat Ros yang tiba-tiba menghilang di tengah keramaian. Noble hanya tergugu. Mencoba menahan jatuhnya air mata. Terlihat jelas kesedihan di wajahnya. Seperti ditumpahkan semua. Keesokan harinya, Noble ditemukan tukang bersih-bersih Bioskop Luxor mati menggantung diri di pojokan timur dekat kamar mandi wanita. Nadi terpotong. Ada beberapa botol karbol kamar mandi tercecer di bawah kaki. Selain menggantung lehernya Noble juga menenggak cairan karbol, seperti benar-benar ingin berhasil mati bunuh diri.
 
Bioskop Luxor dinaungi kengerian. Ada suara-suara tidak jelas memekakkan telinga. Ada suara tangisan ketika adegan bahagia sedang diputar dalam film. Ada laju napas berat saat adegan lucu. Penonton menghindari duduk di barisan kosong. Sosok Noble akan muncul pada menit dan adegan tak terduga saat film berlangsung. Orang-orang di kota ini percaya arwah Noble yang menggambar gambar-gambar jorok, hantu seram, lelaki tanpa kepala di tembok Bioskop Luxor. Hingga suatu pagi muncul lukisan besar di tembok Bioskop Luxor, yang tidak diketahui siapa pembuatnya. Tetapi orang sangat percaya itu ulah arwah Noble yang kecewa kepada Ros. Hantu tentu bisa melakukan apa pun yang dimau.
 
Sedang Ros sendiri seperti menyusul Noble, hilang dari peredaran dunia malam.
Bioskop Luxor makin sepi. Bahkan ketika film beradegan panas mulai diminati dan laris, Bioskop Luxor tetap sepi peminat. Tidak lagi ditemukan pengantre tiket, lelaki tua dengan sepeda onthel pengantar rol film, juga wanita-wanita berpakaian tipis dengan perkataan menggoda. Lukisan Noble di tembok Bioskop Luxor kian hari kian menebar teror. Korbannya para barisan patah hati. Di pemutaran Gairah dalam Pergaulan, film terakhir sebelum Bioskop Luxor ditutup, hanya ditonton tidak lebih sepuluh.
 
Melintasi malam-malam gedung Bioskop Luxor adalah pilihan buruk. Kecuali bagi orang patah hati macam diriku. Andai besok ditemukan pakaian tanpa tuan di emper Bioskop Luxor, itu tentulah aku. Karena lukisan di tembok Bioskop Luxor atau tidak, itu tidak penting. Bulat tekad menyusul Noble menjadi hantu yang menyebar hawa seram. Kalau boleh, aku ingin menjadi hantu yang membuat tulisan mesum dan caci maki di setiap pojokan kota ini. Hingga kekasihku paling bajingan itu tahu aku sudah mati.

Suara Merdeka, 26 Januari 2014
Radna Tegar Zakaria 
Sumber

Rabu, 22 Januari 2014

KEADILAN

ADA suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat.

Putu Wijaya (Jawa Pos, 7 Oktober 2012)

Kamis, 16 Januari 2014

Syair Nasehat Kepada Anak




Dengarkan tuan ayahanda berperi,
Kepada anakanda muda bestari,
Jika benar kepada diri,
Masihat kebajikan ayahanda beri.

Ayuhai anakanda muda remaja,
Jika anakanda mengerjakan raja,
Hati yang betul hendaklah disahaja,
Serta rajin pada bekerja.

Mengerjakan gubernemen janganlah malas,
Zahir dan batin janganlah culas,
Jernihkan hati hendaklah ikhlas,
Seperti air di dalam gelas.

Jika anakanda menjadi besar,
Tutur dan kata janganlah kasar,
Janganlah seperti orang sasar,
Banyaklah orang menaruh gusar.

Tutur yang manis anakanda tuturkan,
Perangai yang lembut anakanda lakukan,
Hati yang sabar anakanda tetapkan,
Kemaluan orang anakanda fikirkan.

Kesukaan orang anakanda cari,
Supaya hatinya jangan lari,
Masyurlah anakanda dalam negeri,
Sebab kelakuan bijak bestari.

Nasehat ayahanda anakanda fikirkan,
Keliru syaitan anakanda jagakan,
Orang berakal anakanda hampirkan,
Orang jahat anakanda jauhkan.

Setelah orang besar fikir yang karu,
Tidak mengikut pengajaran guru,
Tutur dan kata haru-biru,
Kelakuan seperti anjing pemburu.

Tingkah dan laku tidak kelulu,
Perkataan kasar keluar selalu,
Tidak memikirkan orang empunya malu,
Bencilah orang hilir dan hulu.

Itulah orang akalnya kurang,
Menyangka diri pandai seorang,
Takbur tidak membilan orang,
Dengan manusia selalu berperang.

Anakanda jauhkan kelakukan ini,
Sebab kebencian Tuhan Rahmani,
Jiwa dibawa ke sana sini,
Tiada laku suatu dewani.

Setengah yang kurang akal dan bahasa,
Sangatlah gopoh hendak berjasa,
Syarak dan adat kurang periksa,
Seperti harimau mengejar rusa.

Ke sana ke mari langgar dan rampuh,
Apa yang terkena habislah roboh,
Apa yang berjumpa lantas dipelupuh,
Inilah perbuatan sangat ceroboh.

Patut juga mencari jasa,
Kepada raja yang itu masa,
Tetapi dengan budi dan bahasa,
Supaya negeri ramai temasya.

Apabila perintah lemah dan lembut,
Semua orang suka mengikut,
Serta dengan malu dan takut,
Apa-apa kehendak tidak tersangkut.

Jika mamerintah dengan cemeti,
Ditambah dengan perkataan mesti,
Orang menerimanya sakit hati,
Barangkali datang fikir hendak mati.

Inilah nasehat ayahanda tuan,
Kepada anakanda muda bangsawan,
Nafsu yang jahat anakanda lawan,
Supaya kita jangan tertawan.

Habislah nasehat habislah kalam,
Ayahanda memberi tabik dan salam,
Kepada Orang Masihi dan Islam,
Mana-mana yang ada bekerja di dalam.

Raja Ali Haji

Selasa, 14 Januari 2014

Laila

Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.
”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”
Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.
”Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.
”Dia punya konflik,” kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”
”Terlalu!”
”Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!”
”Berhenti?”
”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”
”Kali Laila dapat kerjaan baru.”
”Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”
”Jadi Laila akan berhenti?”
”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.”
”Boleh sama si Romeo?”
”Memang itu yang dia mau!”
Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya.
Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.
Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi manusia.
Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.
Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya.
”Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.”
”O ya?”
”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri saya.
Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan privasi.
Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai kurang-ajar.
”Kamu frustrasi!” komentar istri saya sambil tertawa,
”Persis!”
”Karena kamu kurang peka!”
Saya berpikir. Istri saya terus ketawa.
”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”
”Menunggu apa?”
”Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.”
”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!”
”Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.”
Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.
”Bagikan ini pada mereka!”
Saya takjub, tapi tak bisa menolak.
Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan.
Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.
Tetapi kemudian Laila kembali menangis.
”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!”
”Motor? Emang mau ngojek.”
”Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!”
”Terus untuk apa?”
”Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.”
”Kamu tolak kan?!”
”Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.”
Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila.
”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home tahu?!”
”Ya Pak.”
”Kamu mengerti?”
”Mengerti, Pak.”
”Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!”
Laila tunduk dan mulai menangis.
”Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”
”Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!”
”Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!”
”Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!”
”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!”
Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.
”Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”
Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.
”Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”
Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.
Tapi itu hanya berlangsung sebulan.
”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!”
Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.
Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang menyentuhnya.
”Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!”
Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki, menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia di posnya.
”PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu tetangga.
Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar.
”Motor kamu mana, Laila?”
”Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.”
”Kenapa?”
”Kerjanya lebih jauh, Pak.”
”Kenapa dia tidak naik angkot saja?”
”Nggak boleh sama suami saya, Pak.”
Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah.
”Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!”
”Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.”
”Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!”
”Betul, Pak.”
”Ambil motor itu kembali!!!!!!”
Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.
”Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!”
Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.
”Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.”
Saya bingung.
”Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?”
”Sebab misan Laila itu perempuan !”
”Gila! Istrinya juga perempuan!”
”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!”
Saya megap-megap.
”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?
Istri saya hanya mengangguk.
”Sekarang memang banyak orang gila!”
Langsung saya interogasi Laila di dapur.
”Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”
Laila tak menjawab.
”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!”
Laila diam saja.
”Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!”
”Ya, Pak.”
”Kalau sadar kenapa tidak bertindak?”
”Saya ingin berbakti pada suami, Pak!”
”Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”
”Ya, Pak!”
”Ya apa?”
”Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”
”Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”
Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.
”Kita tidak bisa kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian.
”Lho, memangnya dia minta berhenti?”
”Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.”
”Tapi itu kan haknya!”
”Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”
”Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!”
”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.”
”O ya, Laila bilang begitu?”
”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.”
”Kenapa dia begitu ketakutan?”
”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!”
Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.
Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.
”Kita tidak mungkin kehilangan Laila,” kata istri saya.
”Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.”
”Karena itu dia harus punya motor!”
Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna juga tertawa.
Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.
Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.
Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.
”Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!”
Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi.
Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan.
”Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya.
Istri saya menjawab acuh tak acuh.
”Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!”
Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya menjadi orang lain.
Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.
Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.
”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?”
”Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.”
”Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”
”Betuk, Pak.”
”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?”
Laila menunduk.
”Kenapa kamu sedih?”
”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.”

Putu Wiaya
2009

Jumat, 10 Januari 2014

Gurindam 12 pasal XII

Gurindam Pasal XII
 
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.

Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.

Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.

Kasihkan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.

Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.

Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.

Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.

 Sultan Ali Raja

( Perintis Sastra, 1951)

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

Gurindam I2 Pasal XI

Gurindam Pasal XI

Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

 Sultan Ali Raja

( Perintis Sastra, 1951)

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

Gurindam 12 Pasal X


Gurindam Pasal X

Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.


 Sultan Ali Raja

( Perintis Sastra, 1951)

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII