ADA suatu masa, ada saat banyak
pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka memakai
kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter
mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail
bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat
anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli,
tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara
anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es
pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai malu
melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun
menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang
rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya
merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke
sana, hampir semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan
kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali
layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper
hatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat
meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung
ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang
berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu
semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan
uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak
Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga
jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah
seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia
salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan
berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail
warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat
menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung
menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan
uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau
ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke
tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak
Amat. Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya
keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar.
Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau
dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam.
Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba
menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan
diri berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena
saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es
pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya
kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun
sudah sakit masih teriak-teriak minta es, kalau terdengar
kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku
tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu
tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es
yang dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak
Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak
pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak
Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket
lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu
satu gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan
tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan
nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu
melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan
menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih
tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba
bangkit lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk
berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang
kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang
sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan
perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau
tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai
satu abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat
berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat.
Putu Wijaya (Jawa Pos, 7 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar