Minggu, 29 Desember 2013

Guru
















Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.

Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."

"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"

Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.

"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"

Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.

Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.

Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.

"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.

Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu tidak menjawab.

"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"

Taksu tetap tidak menjawab.

"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.

"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"

Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.

"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.

Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.

"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."

Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.

"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."

Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."

Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.

"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."

Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!

Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.

"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

"Mau jadi guru."

Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.

"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"

"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Baak tidak akan bisa membunuh saya."

"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

Saya tercengang.

"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.

"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

Taksu memandang kepada saya tajam.

"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.

"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"

Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya tel****ngi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.

"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.

"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"

Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.

"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.

Saya bingung.

"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"

Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?

"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.

Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:

"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."

Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.

Tetapi itu 10 tahun yang lalu.

Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.

Cerpen Putu Wijaya

Sabtu, 28 Desember 2013

Sang Sarjana Akutansi

Mas minta koran edisi 10 oktobernya dong. pinta seorang pemuda dengan perawakan sedang. kulit putih dengan kacamata yang menghiasi matanya yang coklat agak gelap.
“Berapa.”
“tiga ribu aja mas.”
“Nih uangnya.”
Jalan yang disusurinya selangkah demi selangkah menuju tempat berteduh. untuk meletakkan segala lelah dan pengapnya di hari itu. belum setengah dari koran yang dibelinya dibuka. mata yang tadinya gelap yang tertutup oleh kacamata kini berubah warna. gelap langit terkalahkan oleh cerah yang tampak dari mukanya.
“Yes ini dia yang aku cari dari bulan lalu.”
Batang kayu yang didudukinya belum panas. tapi dia sudah berpindah dari beskemnya dan berlari masuk gang.
”Hi don mau kemana buru-buru amat sih lho.”
“Ke warnet bisnis.”
“Bisnis apaan sih?.”
“Ini gue udha dapat lowongan jadi karyawan syaratnya mahir komputer dan bahasa asing dan gak lupa sarjana akutansi.”
”Wah yang udah enggak nganggur nihye. Loh kok pergi ya udah good luck ya Dony.”
Semangat dari sang teman membuat Dony merasa baru saja menelan 10 butir obat kuat penambah semangat. dalam hati Dony sangat yakin karena akutansi adalah makanan sehari-harinya di masa kuliah dulu. Tapi mendung di siang itu seolah-olah tak mau bekerja sama dengan Dony. tiba di tempat rental tempat itu kosong bagaikan rumah hantu tak berpenghuni. hanya suara ketikan dari Dony yang menimbulkan getaran didalam ruang tersebut. belum setengah dari proposalnya di ketik, tiba-tiba listrik down. butuh waktu tiga jam untuk menunggu listrik normal kembali, tapi belum memulai sekata pun Dony telah disiksa dengan bujukan si pemilik rental
”mas maafya tapi tadi bokap saya nelfon katanya nenek saya meninggal jadi kepaksa tutup.“ mas nga usah bayar deh.” bujuk pemilik rental komputer tersebut.
Bagai romi dan juliet Dony bersanding dengan mendung muka Dony dan mendung disiang itu. sama-sama tak bergairah langkah demi langkah Dony seret kaki yang kaku karena putus asa.
“hei bro kok murung udah proposalnya.”
“Belum nih anton.”
“Senyum dong gue bantu deh gue punya data di plas disk gue.”
“Telat rentanya udah tutup.”
“Kan ada komputer paman gue.”
Kembali muka Dony ceria bagai hp yang baru saja di cash. Setelah masalah dengan proposal selesai semuanya di letakkan di atas meja. tapi celakanya dia terpikirkan tentang tes besok hingga harus tidur jam 11 malam.
pagi menjemput malam dari kekuasaannya. Dony yang bangun tersadar dengan jam yang di atas meja menunjukkan 9:00 . tampa pikir panjang proposal di rengguk diatas meja serta barang penting yang ada di sekitarnya. terburu-buru membuat Dony melewati pagi itu tampa mandi. segera menuju halte yang tak jauh dari rumahnya. tapi angkot dan metro mini tak kunjung datang. jam tua yang menghiasi tangan Dony menunjukkan 10:00 membuat Dony tambah cemas
“gara-gara sopir pada demo kita terlantar yo mas.”
“iyo mbo kenapasih harus mogok gara-gara trayek.”
Perbincangan sepasang kekasih dekat Dony membuatnya lemas dan tak bersemangat untuk esok. “kalo gini gue harus naik taksi.” gumamnya dalam hati kembali cemas menemani Dony menunggu taksi, ajaib belum lima menit seorang supir bertanya seolah tahu apa yang di dambakan Dony lima menit lalu.
“Mas mau kemana.?”
“jalan proklamasi bang.”
”ya sudah ayo naik.” tawar sopir taksi
Tapi kali ini sopir taksi itupun tak mau mengantar Dony ketempat tujuan dia dipaksa turun oleh macet yang di akibatkan oleh pendemo.
“berapa bang.?”
“20.000 aja mas.”
Dony yang merogoh seisi kantong celana dan bajunya hanya menemukan nokia 1212 saja. ”jam mas juga bisa.” sebuah kaliamat penyiksa batin tedengung telinga Dony. jam pemberian sang ayah menjadi korban untuk bayar taksi. ini demi kerja kembali gumamnya dalam hati. semangat Dony belum surut juga pagi menjelang siang waktu itu. Tetapi langit merasa mual dan memuntahkan isinya. dengan cepat hujan mengguyur bumi. Dony berlari dari kekuasaan hujan kala siang itu. Dony berlari... berlari dan berlari tapi belum sempat berkata sepatah katapun closs telah mewarnai pintu penerimaaan pegawai.
”Mas mau daftarya tapi udah tutup nih.” tanya securiti pt.bakti.Tbk
“Astagfirullah kenapa begini?”
“Mas kalo mas punya 150.000 saya jamin mas lulus deh.”
“Tapi.... “
“Tenang !! saya jamin.”
“Ini ambil saja hp saya mas.” seolah tak puas dengan jam yang telah diberikan kepada sopir taksi, kali ini Dony memberi hp nokia 1212nya kepada securiti. munkin karena putus asa sudah berusaha sejauh ini tapi harus berhenti dengan angka nol. dengan mengorbankan hpnya untuk sogokan tentu Dony langsung akan mendapat panggilan
Seorang terlintas di hadapan Dony dan langsung memberikan map kepada seorang karyawan perusahaan yang gemuk dan di panggilnya ayah. tampa alasan yang jelas dia mendekati Dony dan memecah keheningan hujan yang sepi tampa sang kilat dan petir.
“Hei don apa kabar ?”
”Eh itu siapa kamu Alan ?”
”bokap!. tapi jujur gue juga gak mau masuk kerja disini gue gak lulus gara-gara akutansi nilai merah, komputerkan kamu yang ajarin dan sekarang baru kursus bahasa inggris.”
“jadi kamu gak yakin tapi kenapa daftar.”
“dipaksa bokap semua surat-surat dan ijazah diminta bokap kemarin ya udah gue kasih.”
seiring perbincangan mereka berjalan langit pun berhenti dari mual yang di deritanya. adzan tanda dzuhur menyelah pembicaraan mereka berdua. mereka bepisah dihari itu. tapi hal aneh tejadi kepada Dony, hari demi hari Dony tak mendapatkan panggilan dari perusahhaan. hingga dua minggu setelah hari itu Dony bertemu dengan Alan di halte yang sama dengan dua minggu yang lalu.
”hei lan apa kabar?“
“baik dong kenapa? Gue keterima di perusahaan kemaren.”
“tapi kan lho ga masu kreteria.”
“sabar bro ini indonesia dan siapa punya keluarga di perusahaan dia akan lebih berpeluang dibandingkkan mereka yang tidak, apalagi dikota gede dan besar seperti jakarta gini. Senyum Alan menutup perbincangan tampa makna dan mengandung sesal di pagi itu.
sadar tentang semua Dony hanya bisa pasrah dan melupakan koran edisi 10 oktober. dan memulai dengan edisi yang baru beserta jam dari sang ayah juga nokia 1212nya.



Maros 12 oktober 2007
FB (Takdir Mahmud)

Jumat, 27 Desember 2013

MENGANTAR IBU KESURGA



Setelah melipat sarung dan menyisipkan kopiah ditengahnya, saya langsung lari pulang. Tadi sebelum mengaji, kami –Saleh, Sarip dan saya- sudah berjanji untuk berangkat ke danau kecil di sudut desa. Sudah dua bulan hujan tidak turun. Airnya kurang. Rencananya kami akan menangkap ikan seperti awal kemarau lalu. Memasang tanggul kecil dari tanah liat pada tempat yang landai lalu menimba airnya.
Tahun lalu saya terlambat, yang kudapat hanya beberapa ikan sepat dan belibis yang masih kecil. Saleh dan Sarif yang mendapat belibis besar, hasilnya mereka bawa ke pasar, uangnya dibelikan sepasang sepatu baru. Semuanya berwarna merah. Aku sangat suka melihatnya. Dulu, sebenarnya aku juga punya,warna biru, sekali itu bapak membelikanku.    Tapi semenjak dia kawin dengan Rabiah, -perempuan yang buka warung di utara pasar desa- dia tidak lagi tinggal di sini. Ia di boyong ke kota dan semenjak itu kabarnya kabur
Sekunyahan kue sebelum sampai di rumah, langkahku kupelankan, saya tidak ingin ibu mendengar kedatanganku kemudian bertanya, pasti dia melarangku lagi. Pintu depan tertutup, mudah-mudahan ibu masih tidur. Sampai di pintu belakang, kumasukkan tanganku ke celah papan yang berjedah untuk sampai pada grendel pintu. Bunyinya berkeriut. Hati-hati sekali kudorong pintu.
Sunyi. Agak bersijingkat aku menuju ke kamar tengah, biasanya ibu di situ istirahat. Tapi tak kutemukan.  Aku hendak bergegas setelah meletakkan sarungku, tapi langkahku terhenti. Ada suara kresek dari kamar depan. Tak biasanya sore ibu ada di kamar depan. Pikiranku lebih curiga kalau ibu ada di sebelah, rumah Mak Mida, membicarakan arisan piringnya. Mungkin saja si hitam, kucingku yang biasajahil memanjati lemari untuk mendengkur. Aku sudah memegang daun pintu untuk segera berlalu, tapi suara itu berkresek lebih keras dan langkahku terhenti. Mungkin garong, desa ini semenjak ramai orang pulang dari kota karena tak lagi punya pekerjaan, pencurian terjadi hampir tiap hari, bahkan tidak memandang waktu, siang atau malam. Tivi pak Liyas yang baru sebulanan selalu kutonton, tiga hari yang lalu hilang ketika dia ke kebun, radionya mesjid yang selalu membangunkanku setiap subuh, juga sudah hilang sepetang lalu
Dengan berdebar kudekati dinding kamar depan, di situ ada bekas paku yang lobang kecil. Biasanya kupakai untuk mengintip keberadaan ibu kalau hendak keluar main ke
Hati-hati sekali kupasang mataku, gelap. Cahaya tak ada, jendela di samping pasti tertutup
Jantungku tak karuan, aku ingat sekali ibu sering menyimpan kalungnya di bawah kasur, di situ juga ada kertas dengan tulisan bagus, ibu bilang itu bukti kalau tanah yang ditempati rumah ini milik   kami. Sisa satu cara, menyingkap sedikit kain gorden yang menjadi tirai kamar. Aku ketakutan, tapi pesan guru ngajiku, Ustad Bisri, kita harus berani berbuat untuk kebaikan. Aku membukanya pelan dari sudut bawah, tengkukku menjadi dingin. Mataku tertumbuk ke sebentuk kaki yang besar. Itu bukan kaki ibuku! 
Aku menyingkap tirai lebih lebar. Mataku kupicingkan, di depanku sangat jelas kalau itu bukan kaki ibuku, betisnya berbulu. Kresek yang tadi kudengar kini bercampur dengan suara lain. Suara laki-laki yang berat dan suara seorang perempuan. Aku berdiri, kusingkap tirai dengan kasar dan tak percaya. Di situ Mang Ranteso meniduri ibuku. Keduanya melihatku. Ibuku denga gugup menarik kain sarung yang teronggok disampingnya lalu menutupi badannya.
Tanganku membekap mulutku yang terbuka lebar., lalu segera berlari keluar Iking!” Kudengar suara ibuku memanggil tapi tak kuperhatikan. Aku terus berlari, nafasku
cepat. Sampai di lapangan bola dipinggiran desa baru aku berhenti. Badanku kugeletakkan begitu saja di atas rumputan, mataku tidak sempurna melihat. Nanar. Aku rasa beberapa saat lagi aku akan menangis
Sampai hari jatuh malam, aku tidak pulang ke rumah. Di gardu ronda yang berada dekat kantor desa, di situ aku terpekur. Aku masih ingat kejadian tadi sore. Aku marah pada ibu. Umurku baru 11tahun, tapi aku mengerti kalau itu dosa. Ustad Bisri pernah bilang, berzina itu dosa dan kalau mati masuk neraka. Di rumah Sarip, ada buku bergambar tentang neraka, orang-orang yang berdosa di bakar hidup-hidup. Bapaknya Sarip menjelaskan tentang gambar orang yang disodok pangkal pahanya dengan pasak besar, katanya orang itu berzina. Aku tidak ingin ibu diperlakukan seperti itu. Di buku itu, neraka menyala terus menerus, jika orang yang di hukum mati, dia dibangkitkan kembali kemudian di hukum dan dibakar lagi. Begitu seterusnya. Aku terus ingat gambar itu dan ibuku
Sudah jauh malam, aku sebenarnya tidak ingin pulang, Tapi peronda sudah pada datang. Aku meninggalkan mereka, aku tidak ingin mereka menanyaiku. Malu
Sampai di depan rumah kutemui ibu duduk termangu di balai depan, matanya sembab, dia langsung berdiri merangkulku. Erat sekali
“Iking, maafkan emakmu, emak salah, aku risih menolak semuanya karena dia sering bantu kita, membelikan kita beras, membelikanmu sarung, permen, makanan........,” kata ibuku dengan suara serak
Aku hanya diam
“Mang Ranteso juga minta maaf, dia janji tidak akan berbuat lagi. Kami tobat, nak,” tambahnya lagi. Kali ini tangan ibu merayapi wajahku, sebenarnya aku suka, tapi itu dulu. Biasanya aku dimanjainya seperti itu kalau mau tidur, tapi kali ini aku malah jengah dan kubiarkan saja. 
Aku langsung meninggalkannya begitu tangannya lepas dari tubuhku, aku tiba-tiba takut
melihat ibuku dan sangat ingin sendiri. Kubaringkan diri di balai belakang, mataku tidak mau tidur. Aku ingat Mang Ranteso. Sebenarnya aku suka kalau dia datang, biasanya dia mengajakku main perang-perangan dengan pistolan yang dibelikannya di kota. Sekali waktu juga dia mengajakku ke kota mengantarkan pasir untuk sebuah bangunan besar, setelah itu dia mengajakku keliling ke kebun binatang, di situ ada ular yang sangat besar, ada gajah dan anaknya dan paling kusenangi monyet yang pandai menimang apa saja yang dibuang kepadanya. Mang Ranteso baik kalau saja dia tidak meniduri ibuku
Ini hari kedua setelah kejadian itu. Aku tak pernah lagi pergi mengaji, takut kalau ustad Bisri menanyaiku. Aku tidak bisa bohong kepadanya, cuma pada Sarip yang datang kemarin aku bilang lagi sakit. Dia percaya saja. 
Kalau tak ada kejadian itu, pasti mang Ranteso sudah ada disini. Hampir setiap dua hari dia datang. Hari ini dia pasti tidak datang
Kali ini di dapur, aku makan sendiri. Aku tidak ingin ketemu ibu, setelah selesai aku langsung keluar ke lapangan. Duduk sendiri, aku suka tidak ada yang menemani. Kalau malam hampir tiba baru aku beranjak pulang, itupun langsung ke balai belakang. Di situ aku langsung tidur walaupun lama baru bisa
Tengah malam aku bangun, badanku penuh peluh, aku baru saja mimpi. Aku melihat apa yang ada di buku bergambar Sarif, ada orang dibakar, dia menjerit, nanti berhenti setelah kepalanya meledak. Lebih nyaring dari kentongan. Ada juga orang yang di godam kepalanya, dia tidak berteriak karena langsung hancur. Setelah itu ada pasak besar menghunjam ke pangkal paha seseorang, dia melengking, berkelojotan lama sekali, wajahnya menegang dan dari mulutnya keluar darah, matanya jalang, sekali waktu dia menatapku dan kukenali. Ibuku!
Aku tidak bisa lagi tidur. Takut. Mimpi itu buruk sekali
Begitu pagi, aku hendak bergegas keluar, ibu berdiri menahanku di pintu, dia memegangi lenganku begitu kuat. Aku tak berbuat apa-apa. Dia jongkok menatapku, aku juga menatapnya. Aku benci karena dia tersenyum
“Kalau kamu masih marah, emak mengerti. Cuma sekarang, emak mau bilang, kalau kamu setuju, Mang Ranteso minta emak jadi istrinya,” tuturnya masih tersenyum. Aku tetap diam. “kuharap kamu setuju,” tambahnya lagi
Tetap aku tak bicara, lalu meninggalkannya setelah lenganku dilepaskannya. Aku kembali ke lapangan, duduk sendiri. Setelah malam datang, aku baru pulang. Di sana tadi aku ingat banyak, cerita Ustad Bisri tentang surga dan neraka. Orang yang berzina ditutup pintu amalannya selama empatpuluh hari, dan kalau dia meninggal, dia segera dimasukkan ke neraka tanpa perhitungan. Lain lagi kalau dia meninggal dalam keadaan beribadah, kata ustad Bisri, dia mati sahid dan masuk surga. semestinya ibu seperti itu. Tadi juga aku bayangkan ibu mati, tapi ibu lagi shalat, dia jatuh lalu tak lagi bernafas. Aku bertaruh, kalau itu terjadi aku pasti tidak menangis. Pasti
Aku masuk ke rumah dengan malas, di ruang tengah ibu tak ada, hanya lampu teplok yang temaram. Di lobang dinding kamar depan aku mengintai masuk, dia lagi bersimpuh dengan memakai mukenah, dia shalat. Aku terenyuh, mungkin ibuku tidak sejelek yang kusangka. Tanpa meninggalkan suara aku langsung menuju ke dapur membuka telungkup baki yang biasanya dijadikan tutupan makanan yang selesai di masak. Ada ikan goreng, tempe bumbu pedas dan nasi yang masih hangat. itu makanan kesukaanku, tapi aku makan dengan kurang selera. Aku tahu ibu ingin menyenangkanku
Selesai makan aku segera berbaring di balai yang biasa kutempati. Aku teringat pada
perkataan ibu tadi pagi. Sesungguhnya aku ingin juga punya bapak lagi, biar bisa dapat sepatu baru atau kalau bisa lengkap dengan selembar baju dengan gambar Saras 008. Aku sangat menginginkannya. Memang, dulu waktu bapak masih di sini, aku tidak bisa bebas bermain, sepulang sekolah aku diikutkan ke tempatnya bekerja, sebuah pabrik batu bata. Di tempat itu aku tak terlalu jengah, aku membantunya untuk memasukkan tanah liat ke dalam tatakan. Malah kalau aku rajin, tiap minggu kalau bapak gajian aku juga dapat uang yang lebih untuk jajan di warung ibu Ono, bisa dapat sebungkus krupuk Cup-Cup dan sebungkus Indomie goreng, rasanya enak sekali di makan dengan nasi. Cuma yang tak kusuka, kalau bapak marah, biasanya aku juga ikut dapat marah, padahal aku sama sekali tidak pernah merasa berbuat salah
Lalu pikiranku kembali ke ibu, hatiku masih sakit, bagaimanapun aku tidak ingin ibu masuk neraka, aku miris ingat mimpiku. Sampai beduk isya, pikiran itu masih dikepalaku.  Aku tak bisa lagi tidur. Aku bangkit ke kamar depan, aku tiba-tiba ingin lihat ibu. Aku kembali mengintipinya pada lobang dinding kamar. Kali ini dia lagi shalat isya, dia ruku. Aku menangis, aku lihat ibu sembahyang, tapi pikiranku masih disinggahi oleh kejadian yang kulihat tempo hari. Ingat pada Mang Ranteso, sulit sekarang kuanggap lelaki itu baik, dia sudah bejat pada ibuku dan ibuku harus juga menanggung beban perbuatannya. Aku sekarang tidak ingin melihat mukanya, dia sudah menipuku dulu dengan selembar kain yang memang kusuka dan satu kopiah yang pas dikepalaku. Sekali lagi aku tidak ingin lagi melihatnya, apalagi menjadi bapakku
Kuintip lagi ibu, dia sedang duduk tahyat terakhir. Kudengar dia terisak. Aku bersyukur ibu mengakui kesalahannya dihadapan tuhan. Ibu menangis.
Cuma sekarang, aku menjadi takut sendiri, bagaimana kalau Mang Ranteso datang lagi?
Bagaimana kalau dia menggoda ibu lagi? Bagaimana kalau ibu tidak bisa menolak karena dimatanya Mang Ranteso itu baik? Dan masih banyak pertanyaan yang membuatku semakin gelisah.  Aku tidak ingin ibu masuk neraka. Badanku berpeluh, aku semakin takut kalau semua yang baru saja kupikirkan terjadi pada beberapa hari ke depan. Aku tak kuasa untuk berfikir kalau kejadian itu tidak mungkin terjadi. Ibuku akan masuk ke neraka. Kalau ini terjadi, aku ingin menggantikannya saja. Ustad Bisri bilang tak ada perbuatan seorang anak yang bisa menggantikan amalan ibunya semenjak dia di kandung sampai menjadi besar. Sekali ini tiba-tiba saja pikiranku tentang semuanya bebal
Aku kembali ke ruang depan, hasratku meninggi untuk melihat ibu. Beliau kembali kuintip. Tangannya tengadah keatas dan suaranya terisak. Aku tak bisa berfikir apa-apa. Aku ingin sekali lari menghambur kehadapannya, lalu ikut juga menangis di situ. Tapi bagaimana dengan Mang Ranteso? Kuumpati nama itu, dia yang kemungkinan akan kembali mengantar ibu ke neraka. Pikiranku menjadi liar. Kalau saja aku besar, lelaki itu semestinya harus kubunuh!
 Akhirnya aku punya kesimpulan sendiri, kurenungi beberapa saat sampai aku yakin itu jauh lebih baik. Kuintip lagi ibu, dia masih tengadah dengan khusuk. Setelah itu aku kembali ke dapur, tak terlalu sulit menemukan pisau dapur yang tertempel di dekat tatakan piring. Aku menggenggamnya keras lalu segera kembali kedepan. Kuatur nafasku sebaik mungkin. Kubuka tirai kamar depan.
Didepanku ibu masih bersimpuh, kutunggui agak lama sampai kedua tangannya menempeli mukanya. Aku bergerak cepat, pisau ditanganku kulayangkan kelehernya. Tepat! Kudengar suara tertahan, darah muncrat sampai ke tanganku, ibu berkelojotan beberapa saat lalu diam. Sampai aku yakin kalau beliau mati baru pisau itu kutarik dengan pelan. Aku kemudian kembali ke dapur mengambil kain lap, darah yang muncrat kubersihkan sebisa mungkin. Ibu kubaringkan dengan baik menghadap arah kiblat, tangannya kulipat seperti orang shalat. Semuanya selesai jauh malam. Suasana yang dingin dan lelah membuatku cepat terlelap di samping ibu
Dalam tidurku, kulihat ibu terbang diantara pelangi dan di antar begitu banyak bidadari. Bahkan aku ikut menciumi aroma wewangian yang begitu harum. Ibu tersenyum kepadaku lalu melayang cmenciumi pipiku. Hangat.  Aku masih ingin melihat itu semua, tapi mimpi itu selesai cepat, aku bangun oleh beduk subuh
Lalu aku kebelakang mandi sebersih mungkin, dua kali kusabuni seluruh tubuhku, gigiku juga kusikat dengan sikat gigi yang di tinggalkan bapak. Rencanaku selepas sembahyang subuh, aku ingin ke rumah nenek di batas desa, aku mesti menceritakannya lalu pulang, mungkin juga aku mesti singgah di rumah ustad Bisri, aku ingin guru ngajiku itu tahu. Syukurlah, tak ada lagi Mang Ranteso, karena ibu  sudah di surga


Cerpen wawan mattaliu 
Karampuang, Januari 2000

Kamis, 26 Desember 2013

SANDIWARA LANGIT



Beberapa Sinopsis singkat dari paragraf-paragraf penting yang terdapat dalam bab-bab buku ini.

Adalah Rizqaan, tokoh utama dalam buku ini, salah satu contoh, dari segelintir umat manusia yang secara apik dianugerahi kekuatan dalam menjalani semua takdirnya, yang teramat berat dan sakit menyayat, namun begit penuh hikmah na harum dan indah memikat.

“Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperolah kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Bila ditimpa musibah dia memuji Allah dan bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut istrinya.” (Riwayat Ahmad dan Abu dawud)

Ia adalah pemuda shalih, yang berjuang keras menyelamatkan diri dari fitnah membujang, dengan segera menikah dengan segala keterbatasan yang ada. Modal belum ada, pekerjaan pun tak punya. Dan Halimah pemudi yang juga shalihah, putri pak rozaq, seorang pengusaha kaya raya menjadi pilhannya. Meski dari keluarga apa adanya, sebagai muslim idealis, ia tak gentar menemui keluarga Halimah, untuk maju meminang. Terkesan nekat, tetapi begitulah, selama itu adalah kebenaran yang diyakin, pantang bagi rizqaan untuk bersurut langkah.

Keunikan kisah ini, dimulai ketika pak rozaq mau menikahkan mereka, namun dengan satu syarat. Bila dalam sepuluh tahu ia tidak bisa “sukses” (baca: kaya raya menurut barometernya) dan “membahagiakan” Halimah, maka ia harus menceraikannya.

Hidup memang benar-benar penuh hal tak terduga, yang kadang begitu sulit dipercaya. Yang tak jarang memaksa kita untuk menerima realita, bahwa itu memang benar terjadi adanya. Selama sepuluh tahun itu, mereka makin menemukan cinta sejati, cinta hanya karena dan kepada Allah semata. Makin kuat, mengakar dan menghebat, lebih dari apa yang mereka bayangkan sebelumnya.

Mengokohkan jiwa mereka dan menghadapi segala badai yang menerpa, dari kematian ayah Rizqaan dala kebakaran pabrik, yang juga membangkrutkan usahanya, hingga berujung pada perceraian yang dipaksakan, demi menepati perjanjian. Atau kisah kematian Halimah yang begitu dramatis, sampai kebesaran hati Rizqaan memaafkan ‘dalang’ penyebab kebakaran sekaligus kematian ayahnya.

Kelebihan

- Cerita yang tersaji dalam buku ini, adalah pemaparan kembali dari kisah nyata yang-insyaAllah- benar-benar terjadi, untuk bersama kita petik hikmahnya. Makin memikat, saat penyusun kisah, Ustadz kami Abu Umar Basyier Al-maedany, juga menyisipkan dalil-dalil Al Qur’an dan Assunnah untuk makin memperkuat bahasan.

Sangat berbeda dengan buku “sejenis” yang terlanjur meracuni umat, dengan kisah fiktif, sandiwara atau satra penuh rekayasa. “Racun” tersebut semakin kabur dan sulit dikenali, dengan pelabelan Islami yang sangat dipaksakan, entah itu pada novel maupun cerpen murahan dan kawan-kawannya. Bagaimanapun, secara umum Islam tidak pernah mengajarkan dusta untuk mencapai –semulia apapun- tujuannya.

-  Penuh hikmah dan motivasi dengan bahasa yang memikat.

Kekurangan 

Kisah nyata yang tersaji tidak happy ending sehingga kurang membuat pembaca bahagia, ini mungkin penulis  terpaku pada kisah nyata jadi tidak bisa membuat cerita rekayasa.


Lebih Lanjut

Beli di sentra buku islam
beli di sentra buku islam



Rabu, 25 Desember 2013

ANA BUNGA

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
                Ana Bunga buahku
                Merah Ana Bunga
                Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau  yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!


1999 

OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999

Laskar Pelangi


Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: November, 2007
Jumlah halaman: 552 hlm

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu—bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.

Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka, dan temukan diri Anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. Buku ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories, dan khususnya juga buat siapa saja yang masih meyakini adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia: pendidikan

Download di swank share (rar)
 download di SwankShare


Download di 4shared (rar)
 download dari 4shared

*nanti di siapkan buat bisa baca di book store kaya punya mbah gugel