Jumat, 27 Desember 2013

MENGANTAR IBU KESURGA



Setelah melipat sarung dan menyisipkan kopiah ditengahnya, saya langsung lari pulang. Tadi sebelum mengaji, kami –Saleh, Sarip dan saya- sudah berjanji untuk berangkat ke danau kecil di sudut desa. Sudah dua bulan hujan tidak turun. Airnya kurang. Rencananya kami akan menangkap ikan seperti awal kemarau lalu. Memasang tanggul kecil dari tanah liat pada tempat yang landai lalu menimba airnya.
Tahun lalu saya terlambat, yang kudapat hanya beberapa ikan sepat dan belibis yang masih kecil. Saleh dan Sarif yang mendapat belibis besar, hasilnya mereka bawa ke pasar, uangnya dibelikan sepasang sepatu baru. Semuanya berwarna merah. Aku sangat suka melihatnya. Dulu, sebenarnya aku juga punya,warna biru, sekali itu bapak membelikanku.    Tapi semenjak dia kawin dengan Rabiah, -perempuan yang buka warung di utara pasar desa- dia tidak lagi tinggal di sini. Ia di boyong ke kota dan semenjak itu kabarnya kabur
Sekunyahan kue sebelum sampai di rumah, langkahku kupelankan, saya tidak ingin ibu mendengar kedatanganku kemudian bertanya, pasti dia melarangku lagi. Pintu depan tertutup, mudah-mudahan ibu masih tidur. Sampai di pintu belakang, kumasukkan tanganku ke celah papan yang berjedah untuk sampai pada grendel pintu. Bunyinya berkeriut. Hati-hati sekali kudorong pintu.
Sunyi. Agak bersijingkat aku menuju ke kamar tengah, biasanya ibu di situ istirahat. Tapi tak kutemukan.  Aku hendak bergegas setelah meletakkan sarungku, tapi langkahku terhenti. Ada suara kresek dari kamar depan. Tak biasanya sore ibu ada di kamar depan. Pikiranku lebih curiga kalau ibu ada di sebelah, rumah Mak Mida, membicarakan arisan piringnya. Mungkin saja si hitam, kucingku yang biasajahil memanjati lemari untuk mendengkur. Aku sudah memegang daun pintu untuk segera berlalu, tapi suara itu berkresek lebih keras dan langkahku terhenti. Mungkin garong, desa ini semenjak ramai orang pulang dari kota karena tak lagi punya pekerjaan, pencurian terjadi hampir tiap hari, bahkan tidak memandang waktu, siang atau malam. Tivi pak Liyas yang baru sebulanan selalu kutonton, tiga hari yang lalu hilang ketika dia ke kebun, radionya mesjid yang selalu membangunkanku setiap subuh, juga sudah hilang sepetang lalu
Dengan berdebar kudekati dinding kamar depan, di situ ada bekas paku yang lobang kecil. Biasanya kupakai untuk mengintip keberadaan ibu kalau hendak keluar main ke
Hati-hati sekali kupasang mataku, gelap. Cahaya tak ada, jendela di samping pasti tertutup
Jantungku tak karuan, aku ingat sekali ibu sering menyimpan kalungnya di bawah kasur, di situ juga ada kertas dengan tulisan bagus, ibu bilang itu bukti kalau tanah yang ditempati rumah ini milik   kami. Sisa satu cara, menyingkap sedikit kain gorden yang menjadi tirai kamar. Aku ketakutan, tapi pesan guru ngajiku, Ustad Bisri, kita harus berani berbuat untuk kebaikan. Aku membukanya pelan dari sudut bawah, tengkukku menjadi dingin. Mataku tertumbuk ke sebentuk kaki yang besar. Itu bukan kaki ibuku! 
Aku menyingkap tirai lebih lebar. Mataku kupicingkan, di depanku sangat jelas kalau itu bukan kaki ibuku, betisnya berbulu. Kresek yang tadi kudengar kini bercampur dengan suara lain. Suara laki-laki yang berat dan suara seorang perempuan. Aku berdiri, kusingkap tirai dengan kasar dan tak percaya. Di situ Mang Ranteso meniduri ibuku. Keduanya melihatku. Ibuku denga gugup menarik kain sarung yang teronggok disampingnya lalu menutupi badannya.
Tanganku membekap mulutku yang terbuka lebar., lalu segera berlari keluar Iking!” Kudengar suara ibuku memanggil tapi tak kuperhatikan. Aku terus berlari, nafasku
cepat. Sampai di lapangan bola dipinggiran desa baru aku berhenti. Badanku kugeletakkan begitu saja di atas rumputan, mataku tidak sempurna melihat. Nanar. Aku rasa beberapa saat lagi aku akan menangis
Sampai hari jatuh malam, aku tidak pulang ke rumah. Di gardu ronda yang berada dekat kantor desa, di situ aku terpekur. Aku masih ingat kejadian tadi sore. Aku marah pada ibu. Umurku baru 11tahun, tapi aku mengerti kalau itu dosa. Ustad Bisri pernah bilang, berzina itu dosa dan kalau mati masuk neraka. Di rumah Sarip, ada buku bergambar tentang neraka, orang-orang yang berdosa di bakar hidup-hidup. Bapaknya Sarip menjelaskan tentang gambar orang yang disodok pangkal pahanya dengan pasak besar, katanya orang itu berzina. Aku tidak ingin ibu diperlakukan seperti itu. Di buku itu, neraka menyala terus menerus, jika orang yang di hukum mati, dia dibangkitkan kembali kemudian di hukum dan dibakar lagi. Begitu seterusnya. Aku terus ingat gambar itu dan ibuku
Sudah jauh malam, aku sebenarnya tidak ingin pulang, Tapi peronda sudah pada datang. Aku meninggalkan mereka, aku tidak ingin mereka menanyaiku. Malu
Sampai di depan rumah kutemui ibu duduk termangu di balai depan, matanya sembab, dia langsung berdiri merangkulku. Erat sekali
“Iking, maafkan emakmu, emak salah, aku risih menolak semuanya karena dia sering bantu kita, membelikan kita beras, membelikanmu sarung, permen, makanan........,” kata ibuku dengan suara serak
Aku hanya diam
“Mang Ranteso juga minta maaf, dia janji tidak akan berbuat lagi. Kami tobat, nak,” tambahnya lagi. Kali ini tangan ibu merayapi wajahku, sebenarnya aku suka, tapi itu dulu. Biasanya aku dimanjainya seperti itu kalau mau tidur, tapi kali ini aku malah jengah dan kubiarkan saja. 
Aku langsung meninggalkannya begitu tangannya lepas dari tubuhku, aku tiba-tiba takut
melihat ibuku dan sangat ingin sendiri. Kubaringkan diri di balai belakang, mataku tidak mau tidur. Aku ingat Mang Ranteso. Sebenarnya aku suka kalau dia datang, biasanya dia mengajakku main perang-perangan dengan pistolan yang dibelikannya di kota. Sekali waktu juga dia mengajakku ke kota mengantarkan pasir untuk sebuah bangunan besar, setelah itu dia mengajakku keliling ke kebun binatang, di situ ada ular yang sangat besar, ada gajah dan anaknya dan paling kusenangi monyet yang pandai menimang apa saja yang dibuang kepadanya. Mang Ranteso baik kalau saja dia tidak meniduri ibuku
Ini hari kedua setelah kejadian itu. Aku tak pernah lagi pergi mengaji, takut kalau ustad Bisri menanyaiku. Aku tidak bisa bohong kepadanya, cuma pada Sarip yang datang kemarin aku bilang lagi sakit. Dia percaya saja. 
Kalau tak ada kejadian itu, pasti mang Ranteso sudah ada disini. Hampir setiap dua hari dia datang. Hari ini dia pasti tidak datang
Kali ini di dapur, aku makan sendiri. Aku tidak ingin ketemu ibu, setelah selesai aku langsung keluar ke lapangan. Duduk sendiri, aku suka tidak ada yang menemani. Kalau malam hampir tiba baru aku beranjak pulang, itupun langsung ke balai belakang. Di situ aku langsung tidur walaupun lama baru bisa
Tengah malam aku bangun, badanku penuh peluh, aku baru saja mimpi. Aku melihat apa yang ada di buku bergambar Sarif, ada orang dibakar, dia menjerit, nanti berhenti setelah kepalanya meledak. Lebih nyaring dari kentongan. Ada juga orang yang di godam kepalanya, dia tidak berteriak karena langsung hancur. Setelah itu ada pasak besar menghunjam ke pangkal paha seseorang, dia melengking, berkelojotan lama sekali, wajahnya menegang dan dari mulutnya keluar darah, matanya jalang, sekali waktu dia menatapku dan kukenali. Ibuku!
Aku tidak bisa lagi tidur. Takut. Mimpi itu buruk sekali
Begitu pagi, aku hendak bergegas keluar, ibu berdiri menahanku di pintu, dia memegangi lenganku begitu kuat. Aku tak berbuat apa-apa. Dia jongkok menatapku, aku juga menatapnya. Aku benci karena dia tersenyum
“Kalau kamu masih marah, emak mengerti. Cuma sekarang, emak mau bilang, kalau kamu setuju, Mang Ranteso minta emak jadi istrinya,” tuturnya masih tersenyum. Aku tetap diam. “kuharap kamu setuju,” tambahnya lagi
Tetap aku tak bicara, lalu meninggalkannya setelah lenganku dilepaskannya. Aku kembali ke lapangan, duduk sendiri. Setelah malam datang, aku baru pulang. Di sana tadi aku ingat banyak, cerita Ustad Bisri tentang surga dan neraka. Orang yang berzina ditutup pintu amalannya selama empatpuluh hari, dan kalau dia meninggal, dia segera dimasukkan ke neraka tanpa perhitungan. Lain lagi kalau dia meninggal dalam keadaan beribadah, kata ustad Bisri, dia mati sahid dan masuk surga. semestinya ibu seperti itu. Tadi juga aku bayangkan ibu mati, tapi ibu lagi shalat, dia jatuh lalu tak lagi bernafas. Aku bertaruh, kalau itu terjadi aku pasti tidak menangis. Pasti
Aku masuk ke rumah dengan malas, di ruang tengah ibu tak ada, hanya lampu teplok yang temaram. Di lobang dinding kamar depan aku mengintai masuk, dia lagi bersimpuh dengan memakai mukenah, dia shalat. Aku terenyuh, mungkin ibuku tidak sejelek yang kusangka. Tanpa meninggalkan suara aku langsung menuju ke dapur membuka telungkup baki yang biasanya dijadikan tutupan makanan yang selesai di masak. Ada ikan goreng, tempe bumbu pedas dan nasi yang masih hangat. itu makanan kesukaanku, tapi aku makan dengan kurang selera. Aku tahu ibu ingin menyenangkanku
Selesai makan aku segera berbaring di balai yang biasa kutempati. Aku teringat pada
perkataan ibu tadi pagi. Sesungguhnya aku ingin juga punya bapak lagi, biar bisa dapat sepatu baru atau kalau bisa lengkap dengan selembar baju dengan gambar Saras 008. Aku sangat menginginkannya. Memang, dulu waktu bapak masih di sini, aku tidak bisa bebas bermain, sepulang sekolah aku diikutkan ke tempatnya bekerja, sebuah pabrik batu bata. Di tempat itu aku tak terlalu jengah, aku membantunya untuk memasukkan tanah liat ke dalam tatakan. Malah kalau aku rajin, tiap minggu kalau bapak gajian aku juga dapat uang yang lebih untuk jajan di warung ibu Ono, bisa dapat sebungkus krupuk Cup-Cup dan sebungkus Indomie goreng, rasanya enak sekali di makan dengan nasi. Cuma yang tak kusuka, kalau bapak marah, biasanya aku juga ikut dapat marah, padahal aku sama sekali tidak pernah merasa berbuat salah
Lalu pikiranku kembali ke ibu, hatiku masih sakit, bagaimanapun aku tidak ingin ibu masuk neraka, aku miris ingat mimpiku. Sampai beduk isya, pikiran itu masih dikepalaku.  Aku tak bisa lagi tidur. Aku bangkit ke kamar depan, aku tiba-tiba ingin lihat ibu. Aku kembali mengintipinya pada lobang dinding kamar. Kali ini dia lagi shalat isya, dia ruku. Aku menangis, aku lihat ibu sembahyang, tapi pikiranku masih disinggahi oleh kejadian yang kulihat tempo hari. Ingat pada Mang Ranteso, sulit sekarang kuanggap lelaki itu baik, dia sudah bejat pada ibuku dan ibuku harus juga menanggung beban perbuatannya. Aku sekarang tidak ingin melihat mukanya, dia sudah menipuku dulu dengan selembar kain yang memang kusuka dan satu kopiah yang pas dikepalaku. Sekali lagi aku tidak ingin lagi melihatnya, apalagi menjadi bapakku
Kuintip lagi ibu, dia sedang duduk tahyat terakhir. Kudengar dia terisak. Aku bersyukur ibu mengakui kesalahannya dihadapan tuhan. Ibu menangis.
Cuma sekarang, aku menjadi takut sendiri, bagaimana kalau Mang Ranteso datang lagi?
Bagaimana kalau dia menggoda ibu lagi? Bagaimana kalau ibu tidak bisa menolak karena dimatanya Mang Ranteso itu baik? Dan masih banyak pertanyaan yang membuatku semakin gelisah.  Aku tidak ingin ibu masuk neraka. Badanku berpeluh, aku semakin takut kalau semua yang baru saja kupikirkan terjadi pada beberapa hari ke depan. Aku tak kuasa untuk berfikir kalau kejadian itu tidak mungkin terjadi. Ibuku akan masuk ke neraka. Kalau ini terjadi, aku ingin menggantikannya saja. Ustad Bisri bilang tak ada perbuatan seorang anak yang bisa menggantikan amalan ibunya semenjak dia di kandung sampai menjadi besar. Sekali ini tiba-tiba saja pikiranku tentang semuanya bebal
Aku kembali ke ruang depan, hasratku meninggi untuk melihat ibu. Beliau kembali kuintip. Tangannya tengadah keatas dan suaranya terisak. Aku tak bisa berfikir apa-apa. Aku ingin sekali lari menghambur kehadapannya, lalu ikut juga menangis di situ. Tapi bagaimana dengan Mang Ranteso? Kuumpati nama itu, dia yang kemungkinan akan kembali mengantar ibu ke neraka. Pikiranku menjadi liar. Kalau saja aku besar, lelaki itu semestinya harus kubunuh!
 Akhirnya aku punya kesimpulan sendiri, kurenungi beberapa saat sampai aku yakin itu jauh lebih baik. Kuintip lagi ibu, dia masih tengadah dengan khusuk. Setelah itu aku kembali ke dapur, tak terlalu sulit menemukan pisau dapur yang tertempel di dekat tatakan piring. Aku menggenggamnya keras lalu segera kembali kedepan. Kuatur nafasku sebaik mungkin. Kubuka tirai kamar depan.
Didepanku ibu masih bersimpuh, kutunggui agak lama sampai kedua tangannya menempeli mukanya. Aku bergerak cepat, pisau ditanganku kulayangkan kelehernya. Tepat! Kudengar suara tertahan, darah muncrat sampai ke tanganku, ibu berkelojotan beberapa saat lalu diam. Sampai aku yakin kalau beliau mati baru pisau itu kutarik dengan pelan. Aku kemudian kembali ke dapur mengambil kain lap, darah yang muncrat kubersihkan sebisa mungkin. Ibu kubaringkan dengan baik menghadap arah kiblat, tangannya kulipat seperti orang shalat. Semuanya selesai jauh malam. Suasana yang dingin dan lelah membuatku cepat terlelap di samping ibu
Dalam tidurku, kulihat ibu terbang diantara pelangi dan di antar begitu banyak bidadari. Bahkan aku ikut menciumi aroma wewangian yang begitu harum. Ibu tersenyum kepadaku lalu melayang cmenciumi pipiku. Hangat.  Aku masih ingin melihat itu semua, tapi mimpi itu selesai cepat, aku bangun oleh beduk subuh
Lalu aku kebelakang mandi sebersih mungkin, dua kali kusabuni seluruh tubuhku, gigiku juga kusikat dengan sikat gigi yang di tinggalkan bapak. Rencanaku selepas sembahyang subuh, aku ingin ke rumah nenek di batas desa, aku mesti menceritakannya lalu pulang, mungkin juga aku mesti singgah di rumah ustad Bisri, aku ingin guru ngajiku itu tahu. Syukurlah, tak ada lagi Mang Ranteso, karena ibu  sudah di surga


Cerpen wawan mattaliu 
Karampuang, Januari 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar