Setelah
melipat sarung dan menyisipkan kopiah ditengahnya, saya langsung lari pulang.
Tadi sebelum mengaji, kami –Saleh, Sarip dan saya- sudah berjanji untuk
berangkat ke danau kecil di sudut desa. Sudah dua bulan hujan tidak turun.
Airnya kurang. Rencananya kami akan menangkap ikan seperti awal kemarau lalu.
Memasang tanggul kecil dari tanah liat pada tempat yang landai lalu menimba airnya.
Tahun
lalu saya terlambat, yang kudapat hanya beberapa ikan sepat dan belibis yang
masih kecil. Saleh dan Sarif yang mendapat belibis besar, hasilnya mereka bawa
ke pasar, uangnya dibelikan sepasang sepatu baru. Semuanya berwarna merah. Aku
sangat suka melihatnya. Dulu, sebenarnya aku juga punya,warna biru, sekali itu
bapak membelikanku. Tapi semenjak dia kawin dengan
Rabiah, -perempuan yang buka warung di utara pasar desa- dia tidak lagi
tinggal di sini. Ia di boyong ke kota dan semenjak itu kabarnya kabur
Sekunyahan
kue sebelum sampai di rumah, langkahku kupelankan, saya tidak ingin ibu mendengar
kedatanganku kemudian bertanya, pasti dia melarangku lagi. Pintu depan
tertutup, mudah-mudahan ibu masih tidur. Sampai di pintu belakang, kumasukkan
tanganku ke celah papan yang berjedah untuk sampai pada grendel pintu. Bunyinya
berkeriut. Hati-hati sekali kudorong pintu.
Sunyi.
Agak bersijingkat aku menuju ke kamar tengah, biasanya ibu di situ istirahat.
Tapi tak kutemukan. Aku hendak bergegas setelah meletakkan sarungku, tapi
langkahku terhenti. Ada suara kresek dari kamar depan. Tak biasanya sore ibu
ada di kamar depan. Pikiranku lebih curiga kalau ibu ada di sebelah, rumah Mak
Mida, membicarakan arisan piringnya. Mungkin saja si hitam, kucingku yang
biasajahil memanjati lemari untuk mendengkur. Aku sudah memegang daun
pintu untuk segera berlalu, tapi suara itu berkresek lebih keras dan
langkahku terhenti. Mungkin garong, desa ini semenjak ramai orang pulang dari
kota karena tak lagi punya pekerjaan, pencurian terjadi hampir tiap hari, bahkan
tidak memandang waktu, siang atau malam. Tivi pak Liyas yang baru sebulanan
selalu kutonton, tiga hari yang lalu hilang ketika dia ke kebun, radionya
mesjid yang selalu membangunkanku setiap subuh, juga sudah hilang sepetang lalu
Dengan
berdebar kudekati dinding kamar depan, di situ ada bekas paku yang lobang
kecil. Biasanya kupakai untuk mengintip keberadaan ibu kalau hendak keluar main
ke
Hati-hati
sekali kupasang mataku, gelap. Cahaya tak ada, jendela di samping pasti
tertutup
Jantungku
tak karuan, aku ingat sekali ibu sering menyimpan kalungnya di bawah kasur, di
situ juga ada kertas dengan tulisan bagus, ibu bilang itu bukti kalau tanah
yang ditempati rumah ini milik kami. Sisa satu cara,
menyingkap sedikit kain gorden yang menjadi tirai kamar. Aku ketakutan, tapi
pesan guru ngajiku, Ustad Bisri, kita harus berani berbuat untuk kebaikan. Aku
membukanya pelan dari sudut bawah, tengkukku menjadi dingin. Mataku tertumbuk
ke sebentuk kaki yang besar. Itu bukan kaki ibuku!
Aku
menyingkap tirai lebih lebar. Mataku kupicingkan, di depanku sangat jelas kalau
itu bukan kaki ibuku, betisnya berbulu. Kresek yang tadi kudengar kini
bercampur dengan suara lain. Suara laki-laki yang berat dan suara seorang
perempuan. Aku berdiri, kusingkap tirai dengan kasar dan tak percaya. Di situ
Mang Ranteso meniduri ibuku. Keduanya melihatku. Ibuku denga gugup menarik kain
sarung yang teronggok disampingnya lalu menutupi badannya.
Tanganku
membekap mulutku yang terbuka lebar., lalu segera berlari keluar Iking!”
Kudengar suara ibuku memanggil tapi tak kuperhatikan. Aku terus berlari,
nafasku
cepat.
Sampai di lapangan bola dipinggiran desa baru aku berhenti. Badanku
kugeletakkan begitu saja di atas rumputan, mataku tidak sempurna melihat.
Nanar. Aku rasa beberapa saat lagi aku akan menangis
Sampai
hari jatuh malam, aku tidak pulang ke rumah. Di gardu ronda yang berada dekat
kantor desa, di situ aku terpekur. Aku masih ingat kejadian tadi sore. Aku
marah pada ibu. Umurku baru 11tahun, tapi aku mengerti kalau itu dosa. Ustad
Bisri pernah bilang, berzina itu dosa dan kalau mati masuk neraka. Di rumah
Sarip, ada buku bergambar tentang neraka, orang-orang yang berdosa di bakar
hidup-hidup. Bapaknya Sarip menjelaskan tentang gambar orang yang disodok pangkal
pahanya dengan pasak besar, katanya orang itu berzina. Aku tidak ingin ibu
diperlakukan seperti itu. Di buku itu, neraka menyala terus menerus, jika orang
yang di hukum mati, dia dibangkitkan kembali kemudian di hukum dan dibakar
lagi. Begitu seterusnya. Aku terus ingat gambar itu dan ibuku
Sudah
jauh malam, aku sebenarnya tidak ingin pulang, Tapi peronda sudah pada datang.
Aku meninggalkan mereka, aku tidak ingin mereka menanyaiku. Malu
Sampai
di depan rumah kutemui ibu duduk termangu di balai depan, matanya sembab, dia
langsung berdiri merangkulku. Erat sekali
“Iking,
maafkan emakmu, emak salah, aku risih menolak semuanya karena dia sering bantu
kita, membelikan kita beras, membelikanmu sarung, permen, makanan........,”
kata ibuku dengan suara serak
Aku
hanya diam
“Mang
Ranteso juga minta maaf, dia janji tidak akan berbuat lagi. Kami tobat, nak,”
tambahnya lagi. Kali ini tangan ibu merayapi wajahku, sebenarnya aku suka, tapi
itu dulu. Biasanya aku dimanjainya seperti itu kalau mau tidur, tapi kali ini
aku malah jengah dan kubiarkan saja.
Aku
langsung meninggalkannya begitu tangannya lepas dari tubuhku, aku tiba-tiba
takut
melihat
ibuku dan sangat ingin sendiri. Kubaringkan diri di balai belakang, mataku
tidak mau tidur. Aku ingat Mang Ranteso. Sebenarnya aku suka kalau dia datang,
biasanya dia mengajakku main perang-perangan dengan pistolan yang
dibelikannya di kota. Sekali waktu juga dia mengajakku ke kota mengantarkan
pasir untuk sebuah bangunan besar, setelah itu dia mengajakku keliling ke kebun
binatang, di situ ada ular yang sangat besar, ada gajah dan anaknya dan paling
kusenangi monyet yang pandai menimang apa saja yang dibuang kepadanya. Mang
Ranteso baik kalau saja dia tidak meniduri ibuku
Ini
hari kedua setelah kejadian itu. Aku tak pernah lagi pergi mengaji, takut kalau
ustad Bisri menanyaiku. Aku tidak bisa bohong kepadanya, cuma pada Sarip yang
datang kemarin aku bilang lagi sakit. Dia percaya saja.
Kalau
tak ada kejadian itu, pasti mang Ranteso sudah ada disini. Hampir setiap dua
hari dia datang. Hari ini dia pasti tidak datang
Kali
ini di dapur, aku makan sendiri. Aku tidak ingin ketemu ibu, setelah selesai
aku langsung keluar ke lapangan. Duduk sendiri, aku suka tidak ada yang
menemani. Kalau malam hampir tiba baru aku beranjak pulang, itupun langsung ke
balai belakang. Di situ aku langsung tidur walaupun lama baru bisa
Tengah
malam aku bangun, badanku penuh peluh, aku baru saja mimpi. Aku melihat apa
yang ada di buku bergambar Sarif, ada orang dibakar, dia menjerit, nanti
berhenti setelah kepalanya meledak. Lebih nyaring dari kentongan. Ada juga
orang yang di godam kepalanya, dia tidak berteriak karena langsung hancur.
Setelah itu ada pasak besar menghunjam ke pangkal paha seseorang, dia melengking,
berkelojotan lama sekali, wajahnya menegang dan dari mulutnya keluar darah,
matanya jalang, sekali waktu dia menatapku dan kukenali. Ibuku!
Aku
tidak bisa lagi tidur. Takut. Mimpi itu buruk sekali
Begitu
pagi, aku hendak bergegas keluar, ibu berdiri menahanku di pintu, dia memegangi
lenganku begitu kuat. Aku tak berbuat apa-apa. Dia jongkok menatapku, aku juga
menatapnya. Aku benci karena dia tersenyum
“Kalau
kamu masih marah, emak mengerti. Cuma sekarang, emak mau bilang, kalau kamu
setuju, Mang Ranteso minta emak jadi istrinya,” tuturnya masih tersenyum. Aku
tetap diam. “kuharap kamu setuju,” tambahnya lagi
Tetap
aku tak bicara, lalu meninggalkannya setelah lenganku dilepaskannya. Aku
kembali ke lapangan, duduk sendiri. Setelah malam datang, aku baru pulang. Di
sana tadi aku ingat banyak, cerita Ustad Bisri tentang surga dan neraka. Orang
yang berzina ditutup pintu amalannya selama empatpuluh hari, dan kalau dia
meninggal, dia segera dimasukkan ke neraka tanpa perhitungan. Lain lagi kalau
dia meninggal dalam keadaan beribadah, kata ustad Bisri, dia mati sahid dan
masuk surga. semestinya ibu seperti itu. Tadi juga aku bayangkan ibu mati, tapi
ibu lagi shalat, dia jatuh lalu tak lagi bernafas. Aku bertaruh, kalau itu
terjadi aku pasti tidak menangis. Pasti
Aku
masuk ke rumah dengan malas, di ruang tengah ibu tak ada, hanya lampu teplok
yang temaram. Di lobang dinding kamar depan aku mengintai masuk, dia lagi
bersimpuh dengan memakai mukenah, dia shalat. Aku terenyuh, mungkin ibuku tidak
sejelek yang kusangka. Tanpa meninggalkan suara aku langsung menuju ke dapur
membuka telungkup baki yang biasanya dijadikan tutupan makanan yang selesai di
masak. Ada ikan goreng, tempe bumbu pedas dan nasi yang masih hangat. itu
makanan kesukaanku, tapi aku makan dengan kurang selera. Aku tahu ibu ingin
menyenangkanku
Selesai
makan aku segera berbaring di balai yang biasa kutempati. Aku teringat pada
perkataan
ibu tadi pagi. Sesungguhnya aku ingin juga punya bapak lagi, biar bisa dapat
sepatu baru atau kalau bisa lengkap dengan selembar baju dengan gambar Saras
008. Aku sangat menginginkannya. Memang, dulu waktu bapak masih di sini, aku
tidak bisa bebas bermain, sepulang sekolah aku diikutkan ke tempatnya bekerja,
sebuah pabrik batu bata. Di tempat itu aku tak terlalu jengah, aku membantunya
untuk memasukkan tanah liat ke dalam tatakan. Malah kalau aku rajin, tiap
minggu kalau bapak gajian aku juga dapat uang yang lebih untuk jajan di warung
ibu Ono, bisa dapat sebungkus krupuk Cup-Cup dan sebungkus Indomie goreng,
rasanya enak sekali di makan dengan nasi. Cuma yang tak kusuka, kalau bapak
marah, biasanya aku juga ikut dapat marah, padahal aku sama sekali tidak pernah
merasa berbuat salah
Lalu
pikiranku kembali ke ibu, hatiku masih sakit, bagaimanapun aku tidak ingin ibu
masuk neraka, aku miris ingat mimpiku. Sampai beduk isya, pikiran itu masih
dikepalaku. Aku tak bisa lagi tidur. Aku bangkit ke kamar depan, aku
tiba-tiba ingin lihat ibu. Aku kembali mengintipinya pada lobang dinding kamar.
Kali ini dia lagi shalat isya, dia ruku. Aku menangis, aku lihat ibu
sembahyang, tapi pikiranku masih disinggahi oleh kejadian yang kulihat tempo
hari. Ingat pada Mang Ranteso, sulit sekarang kuanggap lelaki itu baik, dia
sudah bejat pada ibuku dan ibuku harus juga menanggung beban perbuatannya. Aku
sekarang tidak ingin melihat mukanya, dia sudah menipuku dulu dengan selembar
kain yang memang kusuka dan satu kopiah yang pas dikepalaku. Sekali lagi aku
tidak ingin lagi melihatnya, apalagi menjadi bapakku
Kuintip
lagi ibu, dia sedang duduk tahyat terakhir. Kudengar dia terisak. Aku bersyukur
ibu mengakui kesalahannya dihadapan tuhan. Ibu menangis.
Cuma
sekarang, aku menjadi takut sendiri, bagaimana kalau Mang Ranteso datang lagi?
Bagaimana
kalau dia menggoda ibu lagi? Bagaimana kalau ibu tidak bisa menolak karena
dimatanya Mang Ranteso itu baik? Dan masih banyak pertanyaan yang membuatku
semakin gelisah. Aku tidak ingin ibu masuk neraka. Badanku berpeluh, aku
semakin takut kalau semua yang baru saja kupikirkan terjadi pada beberapa hari
ke depan. Aku tak kuasa untuk berfikir kalau kejadian itu tidak mungkin
terjadi. Ibuku akan masuk ke neraka. Kalau ini terjadi, aku ingin
menggantikannya saja. Ustad Bisri bilang tak ada perbuatan seorang anak yang
bisa menggantikan amalan ibunya semenjak dia di kandung sampai menjadi besar.
Sekali ini tiba-tiba saja pikiranku tentang semuanya bebal
Aku
kembali ke ruang depan, hasratku meninggi untuk melihat ibu. Beliau kembali
kuintip. Tangannya tengadah keatas dan suaranya terisak. Aku tak bisa berfikir
apa-apa. Aku ingin sekali lari menghambur kehadapannya, lalu ikut juga menangis
di situ. Tapi bagaimana dengan Mang Ranteso? Kuumpati nama itu, dia yang
kemungkinan akan kembali mengantar ibu ke neraka. Pikiranku menjadi liar. Kalau
saja aku besar, lelaki itu semestinya harus kubunuh!
Akhirnya aku punya kesimpulan sendiri,
kurenungi beberapa saat sampai aku yakin itu jauh lebih baik. Kuintip lagi ibu,
dia masih tengadah dengan khusuk. Setelah itu aku kembali ke dapur, tak terlalu
sulit menemukan pisau dapur yang tertempel di dekat tatakan piring. Aku
menggenggamnya keras lalu segera kembali kedepan. Kuatur nafasku sebaik
mungkin. Kubuka tirai kamar depan.
Didepanku
ibu masih bersimpuh, kutunggui agak lama sampai kedua tangannya menempeli
mukanya. Aku bergerak cepat, pisau ditanganku kulayangkan kelehernya. Tepat!
Kudengar suara tertahan, darah muncrat sampai ke tanganku, ibu berkelojotan
beberapa saat lalu diam. Sampai aku yakin kalau beliau mati baru pisau itu
kutarik dengan pelan. Aku kemudian kembali ke dapur mengambil kain lap, darah
yang muncrat kubersihkan sebisa mungkin. Ibu kubaringkan dengan baik menghadap
arah kiblat, tangannya kulipat seperti orang shalat. Semuanya selesai jauh malam.
Suasana yang dingin dan lelah membuatku cepat terlelap di samping ibu
Dalam
tidurku, kulihat ibu terbang diantara pelangi dan di antar begitu banyak
bidadari. Bahkan aku ikut menciumi aroma wewangian yang begitu harum. Ibu
tersenyum kepadaku lalu melayang cmenciumi pipiku. Hangat. Aku masih
ingin melihat itu semua, tapi mimpi itu selesai cepat, aku bangun oleh beduk
subuh
Lalu
aku kebelakang mandi sebersih mungkin, dua kali kusabuni seluruh tubuhku,
gigiku juga kusikat dengan sikat gigi yang di tinggalkan bapak. Rencanaku
selepas sembahyang subuh, aku ingin ke rumah nenek di batas desa, aku mesti
menceritakannya lalu pulang, mungkin juga aku mesti singgah di rumah ustad
Bisri, aku ingin guru ngajiku itu tahu. Syukurlah, tak ada lagi Mang Ranteso,
karena ibu sudah di surga
Karampuang, Januari 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar